Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu
adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan
hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang
internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons
adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar
berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.
Mementingkan faktor lingkungan.
2.
Menekankan pada faktor bagian.
3.
Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
4.
Sifatnya mekanis.
5.
Mementingkan masa lalu.
Behaviorisme merupakan salah
satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang
individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental.
Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan
perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang
dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya:
1.
Connectionism ( S-R Bond) menurut
Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike
terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
a)
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus-Respons
akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai
respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara
Stimulus- Respons.
b)
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu
pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan
pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
Masalah pertama hukum law of readiness
adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa
puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan
bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbulah rasa ketidakpuasan.
Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada
kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan.
Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
c)
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara
Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan
akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara
keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip
utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran
akan semakin dikuasai.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai
berikut:
a.
Hukum
Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa
pada individu diawali oleh proses trial and error yang menunjukkan
adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
b.
Hukum
Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan
stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik
kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
c.
Hukum
Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai
dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
d.
Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu
sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan
situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan
unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.
Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal
dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit
demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam
perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar
antara lain:
1.
Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan
saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa
pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.
Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa
yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan
hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.
Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan
kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.
Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang
lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep
transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar
dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan
terhadap kucing dengan problem box-nya.
2.
Classical Conditioning menurut Ivan
Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1)
Law of Respondent Conditioning yakni hukum
pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan
(yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat.
2)
Law of Respondent Extinction yakni hukum
pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun.
3.
Operant Conditioning menurut
B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner
terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4.
Social Learning menurut Albert
Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga
teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif
masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu
tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan
skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain
yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti: Watson yang
menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya
yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the
treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode
rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan
Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Tujuan pembelajaran dibagi
dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik
adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan
hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat
tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan
tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran
bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan
kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini
sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktik dan pembiasaan
yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa
asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan
sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan,
suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam
suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran
yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling
efektif untuk menertibkan siswa.Daftar Pustaka:
Kartadinata, Sunaryo., dkk. (2002). Bimbingan dan
Konseling di Selokah Dasar. Bandung : CV. Maulana.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2007). Bimbingan
dan Konseling dalam Praktek. Bandung : Maestro.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Trimanjuniarso.wordpress.com
Best online casino, bonuses and free spins 2021
BalasHapusTop online casinos for real money gambling 바카라 — Find the best casino for you! 인카지노 Discover bonuses, promotions and much more! Rating: 온카지노 4.1 · 2,147 votes