Jumat, 16 Agustus 2013

Teori Belajar Behavioristik



Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.        Mementingkan faktor lingkungan.
2.        Menekankan pada faktor bagian.
3.        Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.        Sifatnya mekanis.
5.        Mementingkan masa lalu.
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya:
1.        Connectionism ( S-R Bond)  menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya:
a)    Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons  menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus-Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b)   Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbulah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c)    Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan  semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.         Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial and error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.         Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
c.         Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
d.        Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.         Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain:
1.    Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.    Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.    Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.    Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

2.        Classical Conditioning  menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya:
1)   Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2)   Law of Respondent Extinction  yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3.        Operant  Conditioning  menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya:
1)   Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2)   Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning  itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons  dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah  stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons  tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4.        Social Learning  menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,  Bandura  memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana  yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti: Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

Daftar Pustaka:


Kartadinata, Sunaryo., dkk. (2002). Bimbingan dan Konseling di Selokah Dasar. Bandung : CV. Maulana.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam Praktek. Bandung : Maestro.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Trimanjuniarso.wordpress.com

Kamis, 15 Agustus 2013

Teori-Teori Pilihan Karir Menurut Para Ahli



Para ahli yang mengembangkan teori-teori pilihan karir antara lain diungkapkan oleh: Peter M. Blau (1950), Donald E. Super (1957), John Holland (1959), dan David V. Tiedeman (1989) sebagai berikut.
a.        Peter M. Blau (1950)
Menurut Peter M. Blau (Sukardi, 1987: 86) arah pilihan karir seseorang merupakan suatu proses yang berlangsung lama dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat bagi seseorang dalam membuat keputusan karir. Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam pembuatan keputusan karir di antaranya sebagai berikut: pengalaman sosial, interaksi dengan orang lain, potensi-potensi yang dimiliki, aspirasi orang tua, keadaan sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang dunia kerja, minat, pertimbangan pilihan karir, serta keterampilan dalam pembuatan keputusan karir.
Pilihan seseorang terhadap suatu pekerjaan didorong oleh faktor adanya kecenderungan untuk mendapatkan ganjaran dan faktor pengharapan terhadap terjadinya perubahan.
Faktor-faktor yang menentukan dalam memasuki pekerjaan menurut Peter M. Blau (Sukardi, 1987: 88) terdiri dari delapan macam, di antaranya yaitu:
(1)     Tuntutan anggota baru untuk mendapat libur atau cuti lebih awal dan lebih lama.
(2)     Faktor kebutuhan fungsional, misalnya teknik kualifikasi.
(3)     Faktor kebutuhan non fungsional, yaitu suatu seleksi yang didasarkan atas dasar kriteria yang tidak relevan.
(4)     Ganjaran (reward), seperti gaji (income), prestise, tenaga, dan lain-lain.
(5)     Faktor informasi yang lengkap yang berpengaruh dalam memasuki pekerjaan.
(6)     Keterampilan teknik pekerjaan dalam berbagai macam.
(7)     Karakteristik sosial pekerja yang berpengaruh dalam penmbuatan keputusan.
(8)     Faktor orientasi nilai masyarakat yang relatif menentukan signifikasi perbedaan ganjaran (reward) yang akan diterima.
Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap pekerjaan yang akan dipilih oleh seseorang. Pada hakikatnya, setiap individu akan mengumpulkan informasi mengenai karir yang akan dipilihnya. Informasi yang dikumpulkan oleh seorang individu di antaranya adalah faktor-faktor yang telah disebutkan di atas.

b.        Donald E. Super (1957)
Super (Sharf, 1992: 121) menjelaskan bahwa dalam kematangan bekerja dan konsep diri (self-concept) merupakan dua proses perkembangan yang berhubungan. Pada teori tersebut Donald E. Super masih menjelaskan masalah perkembangan atau pemilihan jabatan secara umum.
Teori perkembangan jabatan menurut Donald E. Super (anieq et al., 2004) yaitu sebagai berikut:
(1)     Setiap orang memiliki perbedaan individual, sebab setiap orang memiliki kemampuan, minat, dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda.
(2)     Setiap individu memiliki kecakapan (potensi) untuk mencapai sukses atau kepuasan untuk sejumlah pekerjaan tertentu.
(3)     Setiap jenis pekerjaan menuntut pola khas dari kemampuan, minat, nilai-nilai, dan sifat-sifat kepribadian.
(4)     Preferensi dan kompetensi jabatan akan mengalami perubahan karena waktu dan pengalaman, karena membuat pilihan dan penyesuaian merupakan proses yang kontinu.
(5)     Proses perkembangan melewati lima tahapan kehidupan, yaitu tahap pertumbuhan (growth), eksplorasi (eksploration), pembentukan (establishment), pembinaan (maintenance), dan tahap kemunduran (decline). Kemudian pada tahap eksplorasi dibagi kembali menjadi tahap fantasi, tentatif, dan tahap realistis. Sedangkan pada tahap pembentukan dibagi menjadi tahap mencoba (trial) dan tahap yang mentah (stable).
(6)     Pola karir pada umumnya ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi keluarga, kemampuan mental, kepribadan, dan kesempatan (faktor internal dan eksernal).
(7)     Perkembangan tingkat kehidupan (life stage) atau arah pilihan jabatan seseorang selalu berkembang dan dapat diarahkan dengan mempermudah proses kematangan kemampuan, minat, mengembangkan konsep diri, serta kesempatan yang cukup memadai.
(8)     Proses perkembangan jabatan penting dalam mengembangkan dan melaksanakan suatu konsep diri.
(9)     Proses perpaduan antara faktor individual dan sosial atau antara konsep diri dengan kenyataan (reality testing). Interaksi antara individu dengan lingkungan yang membentuk pola karir.
(10) Kepuasan kerja dan kepuasan hidup sangat bergantung pada luasnya individu dapat menyalurkan potensi-potensi, kepribadian dan nilai-nilai yang dimilikinya.

c.         John Holland (1959)
John Holland (Sharf, 1992: 45) memandang bahwa pilihan karier dan penyesuaian karir merupakan pengembangan dari kepribadian seseorang. Individu mengekspresikan dirinya, ketertarikan, dan nilai-nilai melalui pilihan karir mereka. Teori ini mengemukakan bahwa adanya hubungan antara pemilihan karir dengan tipe kepribadian yang dimiliki individu dan penting sekali membangun keterkaitan atau kecocokan antara dua hal tersebut.
Holland mengakui bahwa teori hanya dapat menjelaskan sebagian dari variabel-variabel yang mendasari pilihan karir. Dia menyatakan bahwa model teoretis dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kelas sosial, kecerdasan, dan pendidikan. Dengan pemahaman itu, ia melanjutkan untuk menetapkan bagaimana individu dan lingkungan saling berinteraksi melalui pengembangan terpisah enam tipe: Realistik, Investigatif, Artistik, Sosial, Enterprising, dan Konvensional.
Tiga konstruksi penting bagi konseptualisasi dan penggunaan tipe kepribadian Holland dalam konseling adalah kesesuaian, perbedaan, dan konsistensi. Ini mengacu pada hubungan antara kepribadian dan lingkungan (kesesuaian), hubungan antara lingkungan dan kepentingan relatif (diferensiasi), dan hubungan tipe satu sama lain (konsistensi).
Pokok pikiran yang mendasari teori Holland (Manrihu, 1992: 70) yaitu sebagai berikut.
1)        Individu dapat dikategorikan menjadi enam tipe kepribadian, yaitu: realistik, investigatif, artistik, sosial, giat (suka berusaha), dan konvensional.
2)        Dalam menentukan pilihan karir, individu di arahkan untuk memilih lingkungan pekerjaan (okupasional) yang sesuai dengan tipe kepribadiannya.
3)        Individu mempelajari lingkungan-lingkungan pekerjaan dan melatih keterampilan dan kemampuannya, mengekspresikan sikap-sikap dan nilai-nilai, dan menerima masalah-masalah serta peranan-peranan yang sesuai.
4)        Perilaku seseorang ditentukan oleh interaksi antara kepribadian dengan ciri-ciri lingkungannya.
Dalam proses pilihan pekerjaan, Holland (Sukardi, 1987: 81) bependapat bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu faktor diri dan faktor lingkungan. Faktor diri meliputi pengetahuan tentang diri (self-knowledge), evaluasi diri (self-evaluation), dan pengetahuan karir (arah atau luasnya pekerjaan). Sedangkan faktor lingkungan meliputi potensi lingkungan, tekanan sosial yang bersumber dari keluarga dan teman, penilaian atasan dan potensi dari atasan, serta batasan-batasan yang berasal dari sumber sosial ekonomi dan lingkungan fisik.
John Holland mengemukakan bahwa pengetahuan diri mempunyai peranan meningkatkan (increase) atau mengurangi (decrease) ketepatan pilihan seseorang. Pengetahuan diri diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membedakan berbagai kemungkinan lingkungan yang dipandang dari sudut kemampuan yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Penilaian diri (self-evaluation) berbeda dengan pengenalan diri. Penilaian diri lebih menitikberatkan pada penghargaan terhadap dirinya, sedangkan pengetahuan diri berisikan sejumlah informasi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Penilaian diri yang terlalu tinggi mengakibatkan pilihan yang melebihi kecakapannya atau aspirasi yang tidak realistis, dan penilaian yang kurang menyebabkan pilihan di bawah kecakapan atau aspirasi yang tidak realistis.
Teori Holland oleh banyak pakar psikologi vokasional dinilai sebagai teori yang komprehensif karena meninjau pilihan okupasi sebagai bagian dari keseluruhan pola hidup seseorang dan sebagai teori yang mendapat banyak dukungan dari hasil penelitian sejauh menyangkut model-model lingkungan serta tipe-tipe kepribadian. Kelemahan dalam teori ini adalah kurang ditinjau proses perkembangan yang melandasi keenam tipe kepribadian dan tidak menunjukan fase-fase tertentu dalam proses perkembangan itu serta akumulasi rentang umur. Mengenai tahap atau tingkat yang dapat dicapai oleh seseorang dalam bidang okupasi tertentu (occupational level), Holland menunjuk pada taraf inteligensi yang memungkinkan tingkat pendidikan sekolah tertentu, namun dipertanyakan apakah masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dalam hal ini, seperti taraf aspirasi seseorang (Winkel & Hastuti, 2005: 639).

d.        David V. Tiedeman (1989)
David V. Tiedeman (Sharf, 1992: 304) mengemukakan bahwa keputusan untuk memilih pekerjaan, jabatan atau karir tertentu merupakan suatu rentetan akibat dari keputusan-keputusan yang dibuat individu pada tahap-tahap kehidupannya di masa lalu.
Pembuatan keputusan menurut David V. Tiedeman dibagi menjadi dua periode, yaitu periode antisipasi (anticipation) dan periode implementasi (implementation). Kedua periode ini merupakan inti dari suatu perkembangan karir. Perkembangan pekerjaan itu diorientasikan dari keputusan mengenai sekolah, kerja dan kehidupannya.
1)        Periode Antisipasi (The Period of Anticipation)
Tiedeman dan O’Hara (Sharf, 1992: 307) membagi antisipasi dalam membuat keputusan karir menjadi empat proses, yaitu eksplorasi, kristalisasi, pemilihan, dan klarifikasi. Miller dan Tiedeman (1989) menegaskan bahwa tahapan tersebut sebagai panduan (guideline) dalam mengantisipasi suatu keputusan.
a)        Eksplorasi
Eksplorasi yang dimaksud adalah penjelajahan terhadap kemungkinan alternatif keputusan yang akan diambil. Melalui eksplorasi ini, individu mengetahui dengan jelas konsekuensi apa yang akan dialami jika mengambil keputusannya tersebut.
b)        Kristalisasi
Tiedeman dan O’Hara (Sharf, 1992: 308) berasumsi bahwa kristalisasi merupakan sebuah stabilisasi dari representasi berpikir. Pada tahap ini, pemikiran dan perasaan mulai terpadu dan teratur. Keyakinan atas pilihan yang akan diambil menguat. Definisi tentang alternatif pilihan semakin jelas.
c)        Pemilihan
Sama halnya dengan perkembangan kristalisasi, proses pemilihan pun terjadi. Masalah-masalah individu berorientasi kepada tujuan yang relevan, yaitu individu mulai mengorganisir dalam melengkapi dan menyesuaikan terhadap berbagai pilihan karir masa depan. Sehingga pada tahap ini individu percaya atas pilihannya.
d)       Klarifikasi
Ketika seorag induvidu membuat keputusan lalu melakukannya, mungkin dalam perjalanannya ada yang lancar mungkin ada yang mempertanyakan kembali karena kebingungan. Pada saat individu mengalami kebingungan, seharusnya individu tersebut melakukan eksplorasi kembali, kristalisasi, lalu melakukan pemilihan alternatif kembali dan seterusnya.

2)        Periode Implementasi dan Penyesuaian (The Period of Implementation and Adjustment)
Periode implementasi dan penyesuaian ini oleh David V. Tiedeman (Sharf, 1992: 310) digolongkan menjadi tiga tahap, yaitu: tahap induksi (induction), tahap transisi (transitition), dan tahap mempertahankan (maintenance).
a)        Tahap Induksi
Tahap ini terjadi atau dimulai dari pengalaman dan kesimpulan yang diteliti. Individu mengorganisir karir dari tujuan individu ke dalam interaksi yang berhubungan dengan masyarakat (misalnya melanjutkan sekolah atau pekerjaan). Selama tahap ini, individu mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan yang telah dicapainya. Akhirnya pada tahap ini tujuan dan sejumlah alternatif menjadi suatu bagian. Dalam arti lain, tujuan individu dan dunia kerja berasimilasi dengan posisinya sebagai salah satu aspek yang memungkinkan mendorongnya untuk berhasil.
b)        Tahap Transisi
Dalam tahap ini, orientasi yang diutamakan adalah disesuaikan kepada penetapan tujuan karir yang diambilnya. Walaupun telah diperoleh kepercayaan bahwa seseorang akan berhasil terhadap pembuatan keputusan karirnya, akan tetapi seorang individu masih mengalami tahap transisi berbagai keputusan yang telah diambilnya, yaitu adanya berbagai kemungkinan bahwa individu akan menyimpang arah.
c)        Tahap Mempertahankan
Pada tahap mempertahankan, individu memelihara kaputusan karir yang telah diambilnya. Prospek terhadap segala usahanya telah menuju kepada status di masa mendatang dan seterusnya akan berkembang menjadi pembinaan karir.

Daftar Pustaka 


Manrihu, Muhammad Thayeb. (1992). Pengantar Bimbingan dan Konseling Karir. Jakarta: Bumi Aksara.
 

Sharf, Richard S. (1992). Applying Career Development Theory to Counseling. California: Brooks/ Cole Publishing Company.

Sukardi, Dewa Ketut. (1987). Bimbingan Karir di Sekolah-sekolah. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Winkel, W.S & Sri Hastuti. (2005). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo.